Pendahuluan
Wacana yang paling fundamental dalam
kajian hadis adalah persoalan otentisitas dan reliabilitas metodologi otentifikasi
hadis. Keraguan sebagian sarjana Muslim atas peran hadis sebagai sumber
otoritas kedua setelah al-Qur’an, tidak sepenuhnya berkaitan dengan resistensi
mereka atas otoritas sunnah, tetapi lebih pada keraguan mereka atas keakuratan
metodologi yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis. Apabila
metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang
dicapai dari metode tersebut tidak
steril dari kemungkinan kemungkinan verifikasi ulang, kritik sejarah bahkan hasil
tersebut bisa menjadi collapse.
Makalah ini tidak bermaksud
menggugat posisi hadis sebagai sumber otoritas Islam. Hadis yang dianggap
sebagai verbalisasi sunna oleh sebagian besar umat Islam terlalu penting untuk
diabaikan dalam kehidupan beragama, sosial dan politik. Hadis bukan hanya
sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, tapi juga sebagai sumber
informasi yang sangat berharga untuk memehami wahyu Allah. Ia juga sebagai
sumber sejarah masa awal Islam. Singkatnya, ada hadis hukum, hadis tafsir dan
hadis sebagai sumber sejarah dan moral. Dalam anatomi hukum Islam, hadis
merupakan salah satu kalau bukan yang terpenting sumber untuk dikonsultasi.
Pertanyaannya adalah: apakah
sesungguhnya hadis itu. Benarkah hadis itu adalah ucapan verbal nabi, tingkah
laku nabi atau persepsi masyarakat Islam tentang nabi? Apakah buku hadis yang
kita warisi dari abad ketiga seperti Sahih Bukhari dan Muslim, merupakan
refleksi sunnah nabi. Apakah metodologi yang digunakan oleh Bukari dan Muslim dan
para mukharrij yang lain untuk menyeleksi hadis nabi sudah cukup akurat
sehingga semua hadis yang terdapat didalamnya dianggap sahih sehingga kritik
sejarah tidak perlu lagi dilakukan? Bagaimana dengan akurasi metode kritik hadis
(ulumul hadis)? Pertanyaan ini cukup intriguing dan mungkin untuk
kalangan tertentu dianggap profokatif.Tulisan ini mencoba mendiskusikan secara
terbuka persoalan tersebut diatas
2. Diskursus di Barat
Ketika sarjana Barat memasuki domain penelitian
tentang sumber dan asal usul Islam, mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang
apakah dan sejauhmana hadis hadis atau riwayat riwayat tentang nabi dan
generasi Islam pertama dapat dipercaya secara hisroris. Pada fase awal
kesarjanaan Barat, mereka menunjukkan kepercayaan yang tinggi terhadap
literatur hadis dan riwayat riwayat tentang nabi dan generasi Islam awal.
Tetapi sejak paroh kedua abad kesembilan belas, skeptisime tentang otentisitas
sumber tersebut muncul. Bahkan sejak saat itu perdebatan tentang isu tersebut
dalam kesarjanaan Barat didominasi oleh kelompok skeptis. Kontribusi sarjana
seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Wansbrough, Patricia Crone, Michael
Cook dan Norman Calder berpengaruh secara dramatis terhadap karya karya sarjana
Barat.
Akan tetapi, Tidak semua
sarjana Barat dapat digolongkan dalam aliran atau “mazhab“ skeptis. Sarjana
seperti Joseph Van Ess, Harald Motzki, Miklos Muranyi, M.J. Kister, Fueck,
Schoeler bereaksi keras terhadap sejumlah premis, kesimpulan dan methodologi
para kelompok skeptis. Mereka dapat digolongkan sebagai kelompok non skeptis.
Perdebatan antara kedua kelompok ini sangat tajam selama dua dekade terahir.
Singkatnya, diskursus
hadis di Barat selalu merujuk kepada nama Ignaz Goldziher (Honggaria) dan
Joseph Schacht (Austria), dan untuk yang masih hidup G.H.A. Juynboll (Belanda),
Harald Motzki (Jerman) dan beberapa nama yang lain. Dimata Orientalis kedua
nama yang pertama dianggap seperti Ibn al-Salah (pendekar ulum al-hadith
Muslim) atau Ibn Hajar dalam dunia Islam. Sedangkan G. H. A. Juynboll dan
Harald Motzki, dianggap (kurang lebih) seperti Muhammad Shakir, al-Albani dan
al-Saqqaf atau al-Gumari dalam dunia Islam. Kedua nama pertama (Goldziher dan
Schacht) telah wafat, tapi meninggalkan pengaruh global dan menciptakan madhhab
skeptis di Barat. Dimasa Goldziher (Mohammedanische Studien,1890) dan
Schacht (The Origins 1950), mayoritas sarjana Barat untuk tidak
mengatakan semua, skeptis terhadap literatur Islam, termasuk hadis. Diskursus
masa awal Islampun (abad pertama kedua) dianggap tidak tersentuh karena
minusnya sumber yang tersedia untuk itu. Secara umum, madhab skeptis
berpendapat bahwa pengetahuan dan informasi tentang masa awal Islam (abad
pertama kedua hijriah) hanyalah perpsepsi komunitas Muslim abad ketiga.
Literatur yang ada tidak lebih dari sekedar refleksi peta konflik yang tidak
dapat memantulkan realitas seperti digambarkan oleh sumber itu sendiri.
Beberapa dekade
terahir mazhab skeptis yang telah mapan di Barat tidak lagi satunya-satunya
trend yang mendominasi diskursus studi Islam di Barat. Mazhab non-skeptis yang
dikomandani oleh sejumlah Orientalis sekaliber Motzki, Fuec, Scheoler, Schoeler
dll, turut meramaikan diskursus masa awal Islam. Lewat metodologi yang mereka
kembangkan, mereka melakukan rekonstruksi sejarah untuk melihat sejauh mana
literatur abad ketiga dapat memberikan informasi akurat tentang abad pertama
kedua hijriah.
Sarjana Muslim Fuat Sezgin, sarjana berkebangsaan
Turki yang menulis karya masterpiece Geschichte des arabishen Schrifftums,
dan Muhammad Azmi telah terlibat dalam diskursus hadis di barat, namun radiasi
pengaruhnya terasa sangat marginal di Barat.. Dalam studi yang cukup serius,
Sezgin dan Azmi berkesimpulan bahwa proses transmisi hadis nabi secara tertulis
dimulai sejak masa sahabat sampai pada masa pengumpulan hadis pada pertengahan
abad ketiga hijriah. Dengan kata lain, literatur hadis yang diwarisi dari
pertengahan abad ketiga adalah hasil dari periwayatan tertulis dari masa
sahabat, sehingga kwalitas historisitasnya terjamin tanpa keraguan. Kesimpulan
Sezgin dan Azmi dikukung oleh Nabi Abbott. Kelemahan ketiga sarjana ini menurut
pengkritiknya adalah mereka menggunakan sumber atau literatur pada abad ketiga
untuk merekonstruksi peristiwa abad pertama. Dan metode yang digunakan adalah metode
penyandaran atau isnad. Oleh para Orientalis, argumen-argumen yang diajukannya
dianggap circular.
Terlepas dari kesimpulan sarjana Barat terhadap kualitas
hadis yang sering kurang simpatik dimata orang Islam, mempelajari metodologi
mereka sangatlah fruitfull dari perspektif akademis. Karena ia tidak
hanya mengapresiasi literatur Islam tapi juga menunjukkan kelemahannya yang
dapat membuka mata kita. Sejauh pengamatan penulis, metodologi ini kurang
diakses, untuk tidak mengatakan, sama sekali belum disentuh oleh para penstudi
hadis di tanah air. Dunia Islampun gagal mengikuti perkembangan metodologi ini.
Sarjana Islam mungkin trauma oleh ide-ide Goldziher dan Joseph Schacht,
sehingga mereka apriori terhadap metodologi yang dikembangkan di Barat.
Padahal, diskursus hadis di Barat berkembang sangat dinamis. Premis dan
kesimpulan Goldziher dan Schacht dan para pendukungnya yang secara umum
menafikan historisitas penyandaran hadis kepada nabi dan Sahabat telah
mengalami revisi signifikan. Di samping itu, metode untuk menentukan kualitas
sebuah hadispun berkembang dinamis.
Penulis tidak mengunggulkan metode Barat (method
of dating a particular hadith) atas metode kritik hadis (takhrij
al-hadith) atau sebaliknya. Kedua metode tersebut memiliki kelebihan masing
masing yang perlu disinergikan untuk mencapai kesimpulan tentang historisitas
penyandaran hadis kepada nabi, sahabat atau Tabiin. Oleh karena itu, penulis
dengan penuh rendah hati ingin menyarankan kepada Institusi perguan tinggi yang
menjadikan hadis sebagai salah satu substansi kajiannya, terutama program pasca
sarjana, agar membuka diri demi pengembangan mutu akademis kedepan.
Bagaimanapun juga, metode kritik hadis baik yang dikembangkan di dunia Islam
maupun di Barat adalah hasil dari sebuah kerja intelektual yang serius.
Membiarkannya berlalu tak terakses didunia Islam adalah sebuah kelalaian
akademis yang sangat disayangkan.
Problematika Ulumul hadis
Metode yang digunakan oleh para sarjana Muslim klasik untuk menyandarkan
sebuah hadis kepada nabi tidak mendapat tantangan signifikan dari sarjana Muslim
moderen. Memang terdapat sejumlah sarjana moderen yang mencoba menunjukkan
resistensinya terhadap ulumul hadith, tetapi mereka gagal mendapatkan simpati
mayoritas sarjana Muslim.
Informasi tentang nabi yang terekam dalam
buku-buku hadis laksana pecahan-pecahan kaca yang harus direkonstruksi supaya
dapat memantulkan berita-berita akurat tentang nabi. Meskipun hadis-hadis
tersebut telah diseleksi oleh para kolektornya (misalnya al-Bukhari, Muslim,
Tirmizi, Ibn Majah, Abu Daud, Nasai dll). Namun, kenyataan bahwa para kolektor
ini hidup pada abad ke tiga hijriah (dua ratus tahun lebih setelah nabi wafat),
pertanyaan epistimologis muncul: sejauh mana tingkat akurasi metodologi para
kolektor ini dalam menyeleksi hadis-hadisnya? Apakah metodologi mereka sama
dengan metodologi yang populer kita kenal dengan ulum al-hadis?
Al-Bukhari yang dikenal sebagai the man of hadis,
misalnya, tidak pernah menjelaskan metodologinya secara detail. Ulum al-hadis
yang menurut mayoritas sarjana Islam sangat akurat menyimpan sejumlah
pertanyaan-pertanyaan epistimilogis yang tidak terjawab secara empiris. Ulum
al-hadis diterima dan dianggap sesuatu yang taken for granted.
Kecendrungan sebagian diantara kita adalah menolak
atau menerima sebuah hadis tanpa meneliti historisitasnya. Apabila sebuah hadis
disebutkan dalam Sahih al-Bukahi atau Muslim, apalagi kalau keduanya
menyebutkannya, lebih-lebih lagi kalau disebutkan dalam kutub al-sitta,
al-tis’a, maka tidak diragukan lagi hadis tersebut menurut mayoritas
sarjana Islam, sahih, sehingga analisis historis terhadapnya tak lagi penting.
Benarkah sikap seperti itu? Terdapatnya sebuah hadis dalam sejumlah kitab-kitab
hadis bukanlah jaminan akan historisitasnya, karena boleh jadi hadis tersebut
diriwayatkan secara massive pada generasi tertentu (paroh kedua abad
kedua dan seterusnya sampai ke masa mukharrij), tapi pada generasi
sebelumnya (paroh pertama abad kedua dan sebelumnya sampai masa nabi)
diriwayatkan secara ahad (single strand). Singkatnya, semua hadis yang
terekam dalam kitab hadis harus tunduk pada kritik sejarah. Secara umum
literatur hadis kita memiliki karakter sebagai berikut: Nabi-----Satu
Sahabat------satu Tabiin----satu fulan- satu fulan------sejumlah perawi sampai
ke mukharrij (collector).
Terdapat sejumlah
inkonsistensi metode kritik hadis. Ada gap yang cukup menganga antara
teori dan fakta, antara teori ulumul hadis dengan keadaan objektif literatur
hadis. Kalau teori ulumul hadis di aplikasikan secara ketat, bisa jadi kualitas
literatur hadis menurun secara sangat signifikan. Contoh sederhana, teori ulumul
hadis mengajarkan kepada kita bahwa riwayat seorang mudallis tidak bisa
dijadikan hujja apabila ia tidak berterus terang atau ia tidak
menyatakan secara tegas sumber informantnya, misalnya dengan mengatakan ’an
atau sejenisnya, kecuali kalau riwayat tersebut dikuatkan oleh riwayat perawi lain
yang thiqa. Mari kita menguji teori ini secara praktis dalam literatur
hadis dengan mengambil contoh kasus Abu Zubayr. Abu Zubayr, seorang Tabiin yang
di klaim oleh mayoritas kritikus hadis sebagai mudallis.[1]
Dengan berpedoman pada teori tersebut di atas maka semua hadis yang
diriwayatkannya secara tidak langsung (misalnya dengan menggunakan kata-kata ’an
dan sejenisnya) tidak bisa dijadikan hujja (dalil yang kuat), kecuali
kalau ada hadis lain yang menguatkannya. Dalam kitab-kitab hadis, kutub
al-sitta, misalnya, ditemukan ratusan hadis yang diriwatkan oleh Abu
Zubayr, dimana dia tidak menjelaskan cara penerimaannya apakah lansung dari
informannya atau tidak. Dalam kutub al-sitta, Abu al-Zubayr meriwayatkan
360 hadis dari Sahabat Jabir b. Abdullah saja,[2]
belum termasuk hadis yang diriwayatkan Abu al-Zubayr dari Sahabat lain. Jumlah
tersebut akan bertambah lagi apabila diteliti riwayat Abu al-Zubayr dalam kitab
kitab hadis yang lain. Dari 360 hadis tersebut, Muslim merekam 194, Abu Dawud
83, Tirmizi 52, Nasai 141 dan Ibn Maja 78 hadis. Sebenarnya, jalur Abu Zubayr –
Jabir dalam kutub al-sitta sebanyak 548, tapi beberapa diantaranya hadis
hadis yang berulang. Dari 194 hadis riwayat Abu al-Zubayr yang terdapat dalam
Sahih Muslim, 125 diantaranya Abu Zubayr menggunakan kata-kata ‘an dan
sejenisnya, hanya 69 hadis dimana ia menggunakan kata kata haddathana
dan sejenisnya. Menurut teori ulumul hadis, riwayat seperti ini tidak bisa di
jadikan hujja. Kalau demikian halnya maka menurut ulumul hadis, kita harus
menolak ratusan hadis yang terdapat dalam kitab hadis termasuk dalam sahih
Buhari dan Muslim.
Kasus yang sama juga terjadi
pada perawi Hasan al-Basri. Oleh mayoritas kritikus hadis, Hasan al-Basri
dianggap sebagai mudallis.[3]
Meskipun ada juga yang memujinya sebagai faqih dan murua, tapi ia tetap diklaim
telah melakukan tadlis.[4]
Terlepas dari apa yang disampaikan oleh para kritikus hadis tentang tokoh ini,
kemunculannya sebagai perawi hadis yang begitu sering dalam kitab hadis
menjadikannya sebagai tokoh yang terlalu penting untuk diabaikan. Dalam kutub
al-sitta saja Hasan al-Basri meriwayatkan tidak kurang dari 281 hadis. 43
hadis diantaranya terdapat dalam Sahih Bukari dan Muslim (the most highly
appreciated hadith collections). 31
hadis terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan 12 terdapat dalam Sahih Muslim.[5]
Dari 31 hadis yang terdapat dalam Sahih al-Bukhari, hanya delapan kali Hasan
al-Basari mengatakan haddathana dan sejenisnya, yang oleh para kritikus
hadis dianggap mendengarnya secara langsung dari informantnya. Dalam 17 hadis,
Hasan al-Basri ber ’an’ana, yang oleh para kritikus hadis dianggap tidak
menerimanya secara langsung. Selebihnya, hadis Hasan al-Basri dalam Sahih
al-Bukhari adalah mursal. Dalam Sahih Muslim hanya dua kali Hasan al-Basri
mengatakan haddathana dari 12 hadis yang diriwayatkannya. Kesimpulan apa
yang dapat ditarik dari data data ini? Dengan menerapkan teori ulumul hadis
pada kasus Hasan al-Basri, maka 17 hadis dalam al-Bukhari dan delapan hadis
dalam Sahih Muslim harus ditolak, atau paling tidak kehujjahannya harus
di ”gantung” sampai ada hadis lain yang thiqa yang dapat menguatkannya.
Ulumul hadis juga mengajarkan
bahwa dalam transmisi (periwayatan) hadis seorang perawi harus thiqa (reliable).
Cara menentukan kethiqahan perawi adalah dengan merujuk kepada buku-buku
biografi perawi dan dengan membandingkan riwayatnya dengan riwayat yang lain.
Pertanyaannya, sejauhmana keakuratan penilaian penulis buku biografi terhadap
seorang perawi, sementara masa hidup mereka sangat berjauhan? Penulusuran
terhadap buku biografi mengindikasikan bahwa penilain tersebut sering kurang
akurat, sehingga penentuan kualitas perawi yang hanya didasarkan atas buku
biografi terkadang kurang meyakinkan. Namun demikian, buku biografi bukan tidak
penting untuk dikonsultasi. Penelitian empirispun membuktikan bahwa informasi
yang ada dalam buku biografi perawi sangat berharga, meskipun tetap harus
didekati secara kritis.[6]
Selanjutnya, metode
membandingkan riwayat menurut versi ulumul hadis tidak selamanya diterapkan
oleh para kolektor hadis. Hal ini diketahui apabila riwayat para perawi
dibandingkan dengan riwayat lain. Kenyataan ini menunjukkan betapa pentingnya
mencari metodologi alternatif disamping ulumul hadis dalam menentukan kualitas
hadis, karena hemat penulis menyandarkan hadis kepada nabi yang sesungguhnya
tidak pernah diucapkan olehnya sama dosanya dengan mendustakan hadis nabi.
Sehinga penelitian terhadap historisitas dan otentisitasnya harus selalu
dilakukan. Sekali lagi, untuk tujuan tersebut maka pengembangan metodologi
menjadi tuntutan yang sangat mendesak.
Isnad cum matn analysis
Benarkah ribuan hadis yang
disandarkan kepada Abu Hurayra,[7]
Aisya, Abd Allah b. Umar, Anas b. Malik, Abdullah b. Abbas, Jabir b. Abdullah
dan sahabat yang lain diriwayatkan oleh para Sahabat tersebut atau hanya
disandarkan kepada mereka oleh generasi belakangan yang sesungguhnya hadis itu
tidak ada kaitannya dengan Sahabat tersebut. Pertanyaan yang sangat menantang ini
diajukan oleh sejumlah sarjana Barat, dimana sarjana Islam seakan alergi
menjawabnya, dan pertanyaan ini tidak pernah kita temukan dalam ulumul hadis.
Pertanyaan ini perlu dijawab, karena sangat mungkin Sahabat yang dikutip memang
tidak bertanggung jawab terhadap hadis yang disandarkan kepadanya. Untuk
menjawab pertanyaan ini pendekatan isnad cum matn analysis menemukan
urgensinya.
Diantara karakteristik pendekatan
isnad cum matn analysis adalah kualitas seorang perawi tidak hanya
didasarkan pada komentar ulama tentang perawi tersebut. Komentar ulama
tentangnya menjadi sekunder. Kualitas perawi primarily ditentukan terutama oleh matn atau
teks dari perawi tersebut.
Kalau kita meneliti sebuah
hadis, maka yang pertama kita lakukan adalah. Mencari hadis tersebut keseluruh kitab
hadis yang ada. Bukan hanya dalam Sahih Buhari atau Muslim saja, tapi disamping
kutub al-sitta (canonical collections), juga Muwatta Malik, Musnad
al.Tayalisi, Musnad Ibn Rahawayh, Musannaf Abd Razzaq, Sunan al-Darimi, Ibn
al-Jad dan lain lain (pre-canonical collections), al-Bayhaqi, Ibn Hibban,
al-Tabarani, Ibn Khuzayma dan lain lain (post canonical collections), bahkan
kalau perlu dalam kitab hadis koleksi Shiah, misalnya Musnad al-Allama
al-mujlisi, al-Shamiyyin dll. Apakah hadis yang kita cari itu terdapat dalam
buku tersebut. Setelah terkumpul semua data yang dibutuhkan, kemudian dibuat
diagram untuk melihat siapa perawi yang menerima hadis dari mana. Dengan
demikian akan kelihatan siapa yang menjadi madar atau common link
dari setiap generasi. Siapa yang menjadi sumber hadis tersebut dari generasi
kegenerasi. Diagram isnad yang dibuat harus diuji kebenarannya melalui
analisis matn. Karena
klaim perawi telah menerima dari informan yang ia sebutkan boleh jadi hanya
pengakuan belaka. Dalam hal ini membandingkan matn antara para perawi
segenarasi dan seperguruan menjadi mutlak. Apakah hadis tersebut hanya beredar
pada abad kedua ketiga atau sudah beredar pada abad pertama hanya dengan cara
ini kita dapat mengetahui apakah hadis tersebut berasal dari nabi, Sahabat,
Tabiin atau setelahnya. Disamping itu, independensi dan interdependensi setiap
riwayat harus kita buktikan, juga dengan menguji matannya. Benarkah si A menerima hadis dari B
seperti yang ia klaim, benarkah B menerima hadis dari C seperti yang ia kutip,
Benarkah C menerima dari D seperti yang ia katakan, dstnya. Analisa sanad
dan matn menjadi sangat menentukan. Bagaimana proses metode isnad cum
matn analysis ini bekerja, tentu halaman ini sangat terbatas untuk
mengurainya secara detail.[8]
Kondisi kesarjanaan di abad 21
dewasa ini, dimana para sarjana pendahulu kita telah mewariskan karya-karya
masterpiece yang sangat berharga, telah mengedit karya-karya masa lalu,
memunkinkan kita untuk merekonstruksi sejarah nabi, sahabat, tabiin dan
generasi setelahnya, mengetahui sumber berita yang sesungguhnya. Kondisi
kita dewasa ini jauh lebih bagus daripada kondisi al-Bukhari yang harus mencari
dan mengumpulkan kepingan kepingan informasi tentang nabi dari suatu tempat
ketempat yang lain. Al-Bukhari telah meninggalkan mutiara koleksi informasi
tentang nabi. Sejumlah sarjana sebelum dan setelah al-Bukhari telah melakukan
hal yang sama. Sarjana abad ini dapat membandingkan riwayat al-Bukhari dengan
riwayat lain untuk melihat tingkat akurasi setiap periwayatan. Dengan memiliki
sumber berita yang tersedia, kondisi manusia diabad 21 secara fisik lebih bagus
daripada kondisi abad ke dua dan ketiga hijriah. Bahkan, dengan segala kerendahan
hati dan tanpa ada maksud membuat sensasi dapat dikatakan bahwa dengan
menggunakan metodologi isnad cum matn analysis, sarjana abad ini lebih
otoritatif untuk menentukan kualitas hadis daripada al-Bukhari dan para mukharrij
lainnya. Sebagai contoh, ketika al-Bukhari menemukan sebuah hadis dari empat
sumber mislanya, katakanlah dari Abu Nuaym, Adam, Ibrahim b. Musa dan Maslama. Keempat orang ini menerima dari orang yang
berbeda-beda sampai kepada nabi. Pada masa al-Bukhari, sejumlah buku hadis
belum ada seperti sekarang ini, sehingga al-Bukhari menerima hadis tersebut
hanya dari empat orang diatas. Pada saat ini, kitab-kitab hadis yang tersedia
memungkinkan kita untuk menemukan jalur lain selain dari keempat sumber
al-Bukhari. Kitapun dapat membandingkan anatara riwayat al-Bukhari dengan
riwayat dari jalur yang lain untuk melihat tingkat akurasi setiap riwayat.
Dengan perbandingan ini, kita dapat melihat tingkat kedabitan setiap perawi
dari generasi kegenerasi. Bahkan dalam kasus tertentu perawi al-Bukhari bisa
berbeda dengan perawi lain yang dikuatkan oleh riwayat yang lain, sehingga
riwayat dari al-Bukhari yang tanpa pendukung dapat dianggap lebih lemah dengan
riwayat lain yang didukung oleh riwayat yang lain. Sekali lagi dengan isnad
cum matn analysis, kita mengetahui dengan jelas siapa di antara perawi yang
telah melenceng, menanmbah dan mengurangi setiap periwayatan yang asli. Dengan
demikian kitapun dapat melihat tingkat keadabitan perawi dari teksnya.
Secara teoritis, metode isnad
cum matn analysis bukan sesuatu yang baru, tapi secara praktis,
metode ini nyaris tidak diterapkan dalam kajian hadis. Hal ini terefleksi dari
literatur hadis kita. Inilah yang saya maksudkan dengan adanya gap antara teori
dan praktek.
Kesimpulan
Dalam sejarah umat Islam, reliabilitas
ulumul hadis tidak pernah mendapat tantangan berarti dari sarjana Islam. Ada
beberapa sarjana yang meragukan reliabilitasnya, tapi tidak mendapat simpati
berarti dari umat Islam. Tulisan inipun tidak bermaksud menggugat ulumul hadis
secara umum, tapi ada beberapa element substantif dalam ulumul hadis yang harus
dipikirkan kembali. Meskipun dalam kritik hadis terdapat perbedaan-perbedaan
pendapat, Secara umum tidak terdapat perbedaan perbedaan substantif; Kualitas
hadis ditentukan terutama berdasarkan kualitas sanad, meskipun tidak
mengabaikan pertimbangan matnnya. Metode isnad cum matn analysis
menaksir kualitas hadis berdasarkan matnnya, bahkan kwalitas sanadpun dapat
ditaksir melalui matnnya. Analysa matn yang dimaksud bukan apakah matn itu
bertentangan dengan al-Quran atau riwayat yang dianggap lebih kuat, melainkan
sejauh mana riwayat teks seorang perawi melenceng, berbeda secara tekstual
dengan riwayat yang lain. Namun sebelum analisa tekstual dilakukan terlebih
dahulu dilakukan pemetaan siapa yang menerima riwayat darimana, mulai dari mukharrij
sampai ke perawi terahir (sahabat) atau pemilik berita (nabi).
[1] Al-Razi, al-Jarh wa al-tadil,
vol. 8. hal. 75; Ibn Hajar, Tahdhib al-tahdhib, vol. 9, hal. 441
[2] Penulis
telah meneliti keseluruhan hadis tersebut, Lihat, Kamaruddin Amin, The
Reliability of Hadith Transmission, A Reexamination of Hadith Critical Methods,
Bonn 2005)
[3] Ibn Hajar al-Asqalani memasukkannya
dalam kelompok mudallis. Lihat Ibn Hajar, Tabaqat al-mudallisisn, Cairo 1322, hal. 8, 14.
[4] Al-Mizzi, Tahdhib al-kamal,
vol. 6, hal. 109, 125; Ibn Sa’d, Tabaqat, vol. 7, hal. 161, 157-8.
[5] Penulis
telah meneliti semua hadis tersebut, lihat Kamaruddin Amin, The Relibility
of Hadith Transmission…Bonn 2005.
[6] Tentang
reliabilitas kitab biografi, lihat Kamaruddin Amin, The Relibility
[7] Hasil pengecekan penulis, Abu
Hurayra hanya meriwayatkan 3370 dalam kutub al-sitta, Aisya 1999,
Abdullah b. Umar 1979, Anas b. Malik 1584, Abdullah b. Abbas 1243 dan Jabir
960, 13 Sahabat meriwayatkan hadis antara 100 sampai 500, 18 Sahabat antara 50
sampai 100, 68 Sahabat antara 10 sampai 50, selebihnya sahabat sahabat yang
lain hanya meriyatkan satu sampai sepuluh hadis (Lihat Kamaruddin Amin, The
Reliability of Hadith Transmission. A Reexamination of Hadith Critical Methods,
Bonn 2005)
[8] Untuk
cara kerja, prosedur, mekanisme
dan pengujian metodologi ini lihat Kamaruddin Amin, The Reliability of
Hadith Transmission…, Bonn 2005
Assalamu'alaikum wr.wb..
BalasHapusMohon maaf, Prof.. ada point yang saya berbeda pendapat dengan Prof..
Jika berkenan, saya tulis di sini:
https://syukrillah.wordpress.com/2015/05/28/inkonsistensi-metode-kritik-hadis-bantahan-terhadap-prof-dr-kamaruddin-amin/
Mohon bimbingannya.. Terima kasih
Wassalamu'alaikum wr